Teori Framing – Pengertian – Asumsi – Kritik

Dalam konteks komunikasi massa, framing dipandang sebagai sebuah teori dan sebuah proses. Hal ini ditegaskan dalam Dictionary of Mass Communication yang menyatakan bahwa framing adalah teori atau proses tentang bagaimana pesan media massa memperoleh perspektif, sudut pandang, atau bias. Sebagai salah satu teori komunikasi massa, teori framing kerapkali dikaitkan dengan teori agenda setting karena kedua teori tersebut berbicara tentang bagaimana media mengalihkan perhatian khalayak dari kepentingan sebuah isu ke dalam apa yang ingin diproyeksikan dan digunakan untuk mengetahui efek media.

Adapun yang menjadi dasar teori framing adalah bahwa media memusatkan perhatian pada peristiwa tertentu dan kemudian menempatkannya ke dalam sebuah bidang makna. Sedangkan, sebagai sebuah proses, framing terletak pada empat unsur komunikasi atau komponen-komponen komunikasi atau elemen-elemen komunikasi yaitu pengirim, penerima, pesan, dan budaya. Teori framing bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai skema bagaimana setiap individu memandang dunia.

Teori framing kini berkembang menjadi sebuah teori penting yang dapat diterapkan pada beberapa bidang utamanya dalam masyarakat media transnasional. Pengetahuan tentang teori framing sangat penting dalam perencanaan kampanye media bidang periklanan, public relations, dan politik. Ranah penting teori framing berada pada penelitian media dalam bidang jurnalistik dan komunikasi politik.

Baca juga : Manajemen Public Relations– Teori Public Relations

Pengertian

Para ahli dari latar belakang berbagai ilmu telah merumuskan atau mendefinisikan istilah framing. Karena itu, istilah framing memiliki makna yang berbeda-beda. Dalam berbagai literatur jurnalistik maupun komunikasi sedikit sekali kita temukan makna istilah framing dan bagaimana seharusnya framing dikonseptualisasikan.  Namun, dari berbagai definisi framing yang telah dirumuskan oleh para ahli terdapat kesamaan bahwa framing adalah sebuah teori efek media yang berkaitan dengan bagaimana sebuah pesan disajikan dibandingkan dengan apa yang disajikan oleh pesan tersebut.  Karena itu, framing memiliki dua makna yaitu makna makro dan makna mikro.

  • Framing dalam makna makro merujuk pada mode presentasi yang digunakan oleh para jurnalis atau wartawan dan komunikator lainnya untuk menyajikan jenis-jenis informasi atau jenis-jenis berita yang beresonansi dengan berbagai macam skema yang ada diantara khalayak mereka. Hal ini bukan berarti para jurnalis mencoba untuk memanipulasi berita kepada khalayak. Bagi jurnalis, framing merupakan alat penting untuk mengurangi kompleksitas sebuah isu karena adanya kendala yang dialami media dalam kaitannya dengan keseluruhan berita dan waktu tayang.
  • Sementara itu, framing dalam makna mikro merujuk pada bagaimana berbagai elemen dari sebuah narasi berita akan mempengaruhi khalayak pembaca. Menurut Scheufele dan Tewksbury (2007), proses ini lebih jauh dibagi menjadi media frames dan audience frame.

Baca juga : Teori Persamaan Media – Sejarah Radio di Indonesia

Beberapa literatur menyebutkan bahwa istilah framing berakar dari sosiologi, antropologi, dan psikologi. Istilah framing kemudian menjadi begitu terkenal dalam penelitian media dan komunikasi setelah diterbitkannya artikel bertajuk Framing as Fractured Paradigm yang ditulis oleh Robert N. Entman. Definisi framing yang dikemukakan oleh Entman adalah definisi yang paling sering menjadi rujukan bagi penelitian dalam analisis framing.  Entman menjelaskan bahwa framing berita utamanya melibatkan seleksi dan arti penting dalam membuat informasi menjadi lebih mendapat sorotan dan dapat diperhatikan kepada khalayak. Entman sendiri telah mengembangkan suatu model analisis framing yang dikenal dengan sebutan model analsis framing Robert N. Entman.

Sementara itu, menurut Z. Pan dan G.M Kosicki (1993), framing berakar dari psikologi dan sosiologi. Dalam ranah psikologi, framing berasal dari hasil eksperimen yang dilakukan oleh D. Kahneman dan A. Tversky (1979, 1984). Mereka meneliti tentang bagaimana presentasi yang berbeda dari skenario pengambilan keputusan yang identik mempengaruhi pilihan orang dan evaluasi mereka terhadap berbagai pilihan yang disajikan kepada mereka.

Dalam ranah sosiologi, dasar-dasar framing diletakkan pertama kali oleh seorang ahli sosiologi yang bernama Erving Goffman (1974) dan ahli sosiologi lainnya. Mereka berasumsi bahwa setiap individu tidak dapat memahami dunia secara utuh dan berjuang untuk menafsirkan pengalaman hidup mereka secara konstan serta untuk membentuk penalaran dari dunia yang ada di sekitar mereka. Goffman berpendapat bahwa dalam rangka untuk memproses informasi baru secara lebih efisien, masing-masing individu akan menerapkan skema penafsiran atau kerangka kerja utama untuk mengklasifikasikan informasi dan menafsirkannya dengan penuh makna.

Baca juga : Fungsi Media Massa – Model Komunikasi Pemasaran

Sejarah

Teori framing muncul di era media massa pada sekitar tahun 1970an yang berakar dari interaksi simbolik (Baca juga : Teori Interaksi Simbolik) dan konstruksi sosial (Baca juga : Konstruksi Realitas Sosial – Teori Konstruksi Sosial). Ketika itu, di Amerika Serikat  penelitian-penelitian mengenai media mulai beralih dari model efek media ke bentuk khusus pengaruh media terhadap khalayak. Berbagai penelitian terkait media saat itu ditujukan untuk mengetahui peran media massa nasional dalam membentuk berbagai permasalahan politik dalam publik  nasional.

Sejalan dengan semakin seringnya khalayak mendapat terpaan informasi, maka media tidak hanya dipandang dapat mempengaruhi khalayak selama kampanye pemilihan namun juga berperan besar dalam menciptakan persepsi dunia dan wacana politik. Terkait dengan hal ini, Benyamin Cohen berpendapat bahwa meskipun media tidak secara khusus menyampaikan kepada khalayak apa yang dipikirkan oleh khalayak namun sejatinya media benar-benar mengatakan kepada khalayak apa yang harus dipikirkan (Baca juga : Teori Postmodern – Teori Efek Media Massa).

Selama masa itu pula, berbagai penelitian dimulai lebih jauh guna meneliti apa yang disampaikan oleh Cohen. Dua peneilti yang bernama Maxwell McCombs dan Donald Shaw mengembangkan pendekatan agenda setting yang menyatakan bahwa terdapat kaitan antara jumlah liputan dari  suatu isu politik tertentu dengan relevansi yang dirasakan dari isu ini di antara agenda politik khalayak. Studi awal dalam penelitian framing adalah mengidentifikasi frames pokok dalam pemberitaan televisi yaitu sebuah frame episodik dan kerangka tematik yang memposisikan sebuah isu dalam konteks wacana publik yang lebih luas. Yang lainnya membahas frames yang digunakan dalam kampanye pemilihan. (Baca juga : Teori Media Massa).

Perkembangan

Yang dianggap sebagai pelopor utama teori framing adalah Erving Goffman yang berpendapat bahwa desain interpretif merupakan elemen sentral dari sistem kepercayaan budaya. Goffman menyebut frames desain interpretif yang kita gunakan di pengalaman kehidupan kita sehari-hari untuk memahami dunia. Frames membantu mengurangi kompleksitas informasi dan memiliki berfungsi sebagai proses dua arah yaitu frames membantu menafsirkan dan merekonstruksi realitas.

Konsep frames yang disampaikan oleh Goffman memiliki akar konsep dari fenomenologi (Baca juga : Teori Fenomenologi) yaitu suatu pendekatan filosofis yang berpendapat bahwa makna dunia dirasakan oleh setiap individu berdasarkan kepercayaan terhadap kehidupan dunia, pengalaman, dan pengetahuan. Secara tradisional, makna dunia disampaikan melalui proses sosialisasi, menciptakan realitas kolektif di dalam suatu budaya atau masyarakat. Teori framing kemudian berkembang menjadi sebuah teori komunikasi yang sangat penting dalam berbagai bidang masyarakat media transnasional masa kini.

Di awal abad 20, seorang jurnalis dan penulis yang bernama Walter Lippman dalam bukunya yang bertajuk Public Opinion menyatakan bahwa dunia dirasakan sebagai stereotype yang berfungsi sebagai sebuah gambaran di kepala kita. Selama era media massa, berita dikirimkan melalui sejumlah  kecil saluran televisi nasional yang mempengaruhi khalayak nasional. Dan ketika media bertransformasi ke dalam bentuk media jaringan, dimana setiap individu secara aktif memilih informasi, maka teori framing perlu direposisi kembali. Gagasan Lippman mengenai cara pandang individu terhadap dunia tampaknya lebih menentukan bila dibandingkan dengan jenis saluran inofrmasi yang digunakan. Dalam hal ini, teori framing perlu memasukkan faktor individu sebagai seorang aktor dalam proses framing (Volkmer, 2009 : 408).

Baca juga : Teori Konvergensi Media

Terkait dengan hal ini, Lopez-Rabadan dan Vicente Marino (2009) mengusulkan untuk membedakan perkembangan teori framing ke dalam tiga fase utama, yaitu :

  • Tahap awal yang berlangsung tahun 1974-1990 yang ditandai dengan dimulainya penerapan instrumental berbasis definisi sosiologis framing. Pada tahap inilah teori framing mulai masuk ke dalam bidang studi komunikasi.
  • Tahap kedua yang berlangsung selama tahun 1990an, sesuai dengan definisi frames sebagai studi media khusus, dengan sebuah aplikasi dalam analisis wacana media, dengan metodologi yang  agak tidak terkontrol dan tersebar. Selama periode ini, terdapat perdebatan teoretis yang intens antara mereka yang berpendapat bahwa framing tidak lebih dari perpanjangan agenda setting dan mereka yang berpendapat bahwa framing adalah teori yang saling melengkapi tetapi berbeda.
  • Tahap ketiga yaitu tahap reorganisasi dan pengembangan empiris dimulai pada pergantian abad 21 dan berlanjut hingga kini. Selama tahap ini ada upaya untuk melakukan penyatuan konseptual dan metodologis yang memungkinkan perkembangan yang lebih solid dan pesat melalui sinergi penelitian.

Baca juga : Analisis Wacana Kritis

Asumsi

Teori framing dibangun berdasarkan asumsi bagaimana sebuah isu yang dicirikan dalam pelaporan berita dapat memiliki pengaruh terhadap bagaimana isu tersebut dipahami oleh khalayak.  Dengan kata lain, media mengarahkan perhatian publik kepada tema tertentu pilihan jurnalis yang mengakibatkan khalayak membuat keputusan apa yang dipikirkan. Asumsi ini berasal dari pemikiran agenda setting. Jurnalis tidak hanya memilih topik yang akan disampaikan kepada khalayak, melainkan juga terlibat dalam proses bagaimana berita tersebut disuguhkan dan frames dimana berita tersebut disajikan.

Frame merujuk pada cara media dan penjaga pintu gerbang media atau media gatekeeper  mengatur dan menyajikan berbagai peristiwa serta isu-isu yang mereka liput. Frame juga merujuk pada cara khalayak menafsirkan apa yang disajikan oleh media. Frames merupakan gagasan abstrak yang berfungsi untuk mengatur atau menyusun makna sosial. Frames mempengaruhi persepsi khalayak terhadap berita. Framing tidak hanya mengatakan apa yang harus dipikirkan melainkan bagiamana memikirkan hal tersebut.

Baca juga : Sistem Komunikasi Radio

Kritik

Teori framing tidak lepas dari berbagai kritik yang disampaikan oleh para ahli. Adapun beberapa kritik yang disampaikan oleh para ahli adalah sebagai berikut :

  • Framing membangun ketidakpercayaan terhadap media.
  • Framing menciptakan kesenjangan antara kebenaran dan kewaspadaan publik dengan menciptakan sebuah sudut pandang.
  • Framing mendistorsi kebenaran.
  • Frames membatasi perdebatan dengan menempatkan kosakata dan metafora yang bisa digunakan dalam berita yang digunakan oleh semua publik.
  • Framing menjadi kurang seiring dengan berkembangnya media baru dan memberikan kesempatan kepada orang untuk memikirkan topik yang sama dengan sudut pandang yang berbeda.

Baca juga : Fungsi Media KomunikasiTeori Media Komunikasi

Manfaat Mempelajari Teori Framing

Mempelajari teori framing dapat memberikan manfaat, diantaranya adalah kita dapat mengetahui dan memahami pengertian framing, sejarah teori framing, asumsi, perkembangan teori framing, serta kritik terhadap teori framing.

Demikianlah ulasan singkat tentang teori framing terkait dengan pengertian, sejarah, asumsi, perkembangan serta kritik teori framing. Semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang teori framing sebagai salah satu teori efek media khususnya dan teori komunikasi pada umumnya.