Menurut Denis McQuail (1987 : 227), yang menjadi premis bagi seluruh penelitian tentang komunikasi massa adalah adanya pengaruh dan efek yang ditimbulkan oleh media massa kepada khalayak atau audiens.
Pengaruh media massa dan efek media massa merupakan dua topik utama yang berkaitan dengan kajian media selain psikologi media, teori komunikasi dan sosiologi. Topik-topik tersebut menekankan hubungan antara efek media massa dan budaya media terhadap pemikiran, sikap, dan perilaku individu atau khalayak. ( Baca : Sosiologi Komunikasi)
Pengaruh media yang ditimbulkan oleh pesan media menghasilkan perubahan sikap atau penguatan terhadap keyakinan khalayak. Sementara itu, efek media adalah efek yang dapat diukur sebagai hasil dari pengaruh media atau pesan media.
Efek media dapat bersifat positif atau negatif, langsung atau bertahap, maupun jangka pendek atau jangka panjang. Perlu dipahami pula bahwa tidak semua efek media menghasilkan perubahan terhadap khalayak. Beberapa pesan media diketahui hanya memberikan efek memperkuat keyakinan yang ada. Hal ini didasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli mengenai pengaruh terpaan media terhadap perubahan kognitif, sistem kepercayaan, dan sikap khalayak.
Pengertian Efek Media Menurut Para Ahli
Terdapat beberapa pengertian tentang efek media yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut :
Penelitian tentang efek media massa tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan teknologi media massa itu sendiri. Dari sinilah kemudian muncul beberapa teori komunikasi massa yang fokus pada efek media massa sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Berikut adalah beberapa teori efek media massa yang diungkapkan oleh para ahli beserta penjelasannya.
Baca juga:
Model Rangsangan-Reaksi atau Stimulus-Response Model (S-R Model) atau yang disebut juga dengan instinctive S-R theory oleh Melvin DeFleur (1975) memandang khalayak media atau khalayak massa sebagai khalayak yang pesimis.
Teori S-R menyatakan bahwa media menyajikan rangsangan atau stimuli perkasa yang diperhatikan secara seragam oleh massa. Rangsangan atau stimuli ini kemudian membangkitkan berbagai proses seperti desakan, emosi, atau proses lain yang hampir tidak dapat dikendalikan oleh individu. Tanggapan atau respon yang sama diberikan oleh setiap anggota khalayak pada rangsangan atau stimuli yang datang dari media massa. Teori atau model S-R menjadi acuan atau dasar bagi teori peluru atau teori jarum hipodermis (McQuail, 1987 : 234).
Teori jarum hipodermis atau teori peluru disebut juga dengan “the concept of powerful mass media” oleh Elisabeth Noelle-Neumann.
Teori ini memandang media massa memiliki pengaruh yang kuat kepada khalayak media atau khalayak massa dan dapat secara sengaja mengubah atau mengontrol perilaku masyarakat. Dalam teori ini, khalayak digambarkan menjadi sasaran dari proses injeksi informasi yang ditembakkan oleh media massa dan khalayak tidak dapat menghindari atau menolak injeksi yang dilakukan oleh media massa.
Teori dua tahap dikenalkan oleh Paul F. Lazarfeld, Bernard Berelson, dan Hazel Gaudet berdasarkan hasil studi yang menitikberatkan pada proses pengambilan keputusan selama kampanye pemilihan presiden. Penelitian lain yang juga dilakukan selama dan pasca Perang Dunia II menunjukkan bahwa efek media terjadi dalam pola dua tahap, dalam artian efek media terjadi sebagian besar karena interaksi yang dilakukan melalui komunikasi antar pribadi atau pengaruh interpersonal oleh pemuka pendapat kepada anggotanya (Adler dan Rodman, 2003 : 474).
Dalam psikologi, yang dimaksud dengan disonansi kognitif adalah pengalaman tidak menyenangkan atau tidak nyaman yang dirasakan oleh seseorang yang secara bersamaan memegang dua atau lebih gagasan, nilai serta kepercayaan yang saling bertentangan, atau ketika dihadapkan kepada infromasi yang bertentangan dengan gagasan, nilai serta kepercayaan yang dimiliki.
Teori yang digagas oleh Leon Festinger ini menyatakan bahwa individu berusaha menghindari perasaan tidak senang dan ketidakpastian dengan memilih informasi yang cenderung memperkokoh keyakinannya, sembari menolak informasi yang bertentangan dengan kepercayaan yang diyakininya.
Baca : Psikologi Komunikasi
Tahun 1960 melalui bukunya The Effects of Mass Communication, Joseph T. Klapper merangkum berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli.
Klapper menyimpulkan bahwa efek komunikasi massa terjadi melalui serangkaian faktor-faktor perantara yaitu proses selektif yang meliputi persepsi selektif, terpaan selektif, dan ingatan selektif, dan proses kelompok, norma kelompok, dan kepemimpinan opini.
Teori terpaan selektif menggambarkan khalayak tidaklah pasif sebagaimana pandangan teori peluru. Khalayak sebagai sasaran berbagai macam isi komunikasi bersifat aktif dengan cara selektif memilih isi media (Adler dan Rodman, 2003 : 475).
Baca juga:
Teori belajar sosial pertama kali digagas oleh Neal E. Miller dan John Dollard (1941) dan kemudian dikembangkan oleh Albert Bandura (1960an).
Teori ini menyatakan bahwa khalayak belajar tidak hanya melalui pengalaman langsung, melainkan dari peniruan atau peneladanan. Lebih lanjut Bandura menjelaskan terdapat empat tahapan yang harus dilalui dalam proses belajar sosial, yaitu perhatian, pengingatan, reproduksi, motoris, dan motivasional (Rakhmat, 2001 : 240-241).
Teori perbedaan individu memandang bahwa media massa memberikan pengaruh yang berbeda-beda kepada masing-masing khalayak sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh khalayak. Misalnya saja khalayak dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan dapat mudah menerima pesan-pesan yang berisi imbauan logis.
Selain tingkat pendidikan, karakteristik khalayak yang dapat mempengaruhi perbedaan efek media massa terhadap khalayak adalah usia, jenis kelamin, wilayah, tingkat intelektual, kelas sosio ekonomi, dan lain-lain yang dalam metode penelitian komunikasi disebut dengan aspek demografis (Adler dan Rodman, 2003 : 476).
Teori uses and gratifications dirumuskan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch (1959). Mereka melakukan studi untuk mengetahui kaitan antara motivasi khalayak dengan penggunaan media. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana khalayak menggunakan media, memahami motivasi perilaku bermedia dan untuk mengidentifikasi berbagai fungsi yang mengikuti kebutuhan, motivasi, dan perilaku khalayak.
Teori uses and gratifications didasarkan pada beberapa asumsi, yaitu :
Teori kultivasi adalah salah satu contoh efek kumulatif media massa. Teori kultivasi dikenalkan oleh George Gerbner pada tahun 1969 dan merupakan model efek media massa yang sangat kuat setelah teori peluru. Teori kultivasi menitikberatkan pada efek jangka panjang dari terpaan televisi.
Proposisi utama dari teori kultivasi adalah semakin banyak waktu yang digunakan oleh pemirsa untuk menonton televisi, maka pemirsa akan semakin percaya bahwa kenyataan sosial di sekitarnya adalah seperti yang digambarkan oleh televisi. Persepsi yang terbentuk ini dipengaruhi oleh berbagai macam gambar dan pesan-pesan ideologis yang dikirimkan melaui media televisi terkenal.
Baca : Komunikasi Visual
Teori kesenjangan pengetahuan menggambarkan pengaruh jangka panjang media massa terhadap status sosial ekonomi khalayak. Teori yang dikembangkan oleh Phillip Tichenor, George Donohue, dan Clarice Olien memiliki hipotesis yaitu bertambahnya informasi yang disampaikan melalui media massa ke dalam sistem sosial menyebabkan segmen khalayak yang memiliki status sosio-ekonomi yang tinggi.
Hal ini menyebabkan kencenderungan untuk menyerap informasi lebih cepat dibandingkan dengan khalayak yang memiliki status sosioekonomi yang lebih rendah sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam pengetahuan antara keduanya menjadi lebih besar bukan sebaliknya.
Baca : Komunikasi Pembelajaran
Ahli teori berkebangsaan Jerman yang bernama Elisabeth Noelle-Neumann merumuskan teori spiral keheningan melalui kajian yang menghubungkan efek media dengan dampak terhadap pendapat umum dan pola perilaku demokratis khalayak.
Teori spiral keheningan didasarkan pada gagasan bahwa masyarakat yang merupakan minoritas dalam khalayak luas tidak akan berbicara untuk melawan kaum mayoritas guna menghindari resiko diisolasi atau penolakan oleh masyarakat sekitarnya. Pola perilaku seperti ini menjalar kepada yang lainnya, yang mungkin dengan suara yang lebih moderat, untuk tetap diam saat mereka meyakini bahwa sebagian besar orang setuju dengan sudut pandang mayoritas (Werder, 2009 : 634).
Teori agenda setting merupakan contoh lain dari efek kumulatif media massa. Teori agenda setting yang digagas oleh Bernard Cohen, Maxwell McCombs, dan Donald Shaw menggambarkan bagaimana pemilihan topik serta frekuensi pelaporan yang dilakukan oleh media massa berpengaruh terhadap arti penting dari topik-topik tersebut bagi khalayak umum.
Menurut teori agenda setting, media mengatakan apa yang penting kepada khalayak bukan apa yang dianggap penting oleh khalayak. Dengan kata lain, tingkat perhatian yang diberikan terhadap suatu isu dalam media mempengaruhi tingkatan pentingnya isu tersebut bagi konsumen media massa.
Yang harus diperhatikan dari teori agenda setting adalah bahwa media tidak bermaksud mengubah sudut pandang khalayak terhadap isu-isu tertentu, tetapi media dapat merubah persepsi khalayak terhadap apa yang penting. Teori agenda setting lebih berpusat pada isu-isu politik dan pemberitaan melalui media massa. Kini, teori agenda setting teori agenda setting tidak hanya berpusat pada isu-isu politik, tetapi merambah ke pelbagai isu serta media lain (Adler dan Rodman, 2003 : 477) .
Baca :
Menurut Ingrid Volkmer (2009 : 407-408) konsep teori framing berkaitan dengan tradisi agenda setting. Teori framing bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai skema dimana individu memandang dunia. Akar dari teori framing seringkali dikaitkan dengan ahli sosiologi Erving Goffman yang berpendapat bahwa rancangan intepretatif merupakan pusat dari beberapa elemen pokok dari sistem kepercayaan budaya.
Goffman menyebut rancangan frames intepretatif yang kita gunakan dalam pengalaman kehidupan sehari-hari untuk menggambarkan dunia. Frames membantu untuk mengurangi kompleksitas informasi melalui dua proses penyajian, yaitu frames membantu mengintepretasikan dan membentuk kenyataan atau realitas. Konsep frame yang dikenalkan oleh Goffman memiliki akar konseptual dalam teori fenomenologi yaitu suatu pendekatan filsafat yang berpendapat bahwa pemaknaan tentang dunia diberikan oleh individu yang didasarkan atas kepercayaan kehidupan dunia, pengalaman serta pengetahuan.
Baca :
Teori framing menjadi penting bagi berbagai sektor dalam masyarakat media transnasional. Teori ini umumnya digunakan untuk merencanakan media kampanye periklanan, manajemen public relations, komunikasi politik, serta jurnalistik baik jurnalistik online maupun jurnalistik tradisional. Teori framing menggambarkan kemampuan media untuk memanipulasi intepretasi khalayak terhadap pesan-pesan media yang disampaikan dengan menggunakan fakta-fakta atau pendapat.
Baca :
Teori proses informasi sosial adalah teori-teori komunikasi antarpribadi dan teori studi media yang dikembangkan oleh Joseph Walter (1992). Teori ini menjelaskan komunikasi interpersonal daring tanpa adanya petunjuk nonverbal yang berkembang dan pengelolaan hubungan dalam lingkungan komunikasi bermedia komputer (computer-mediated communication).
Komunikasi bermedia komputer merujuk pada komunikasi yang terjadi melalui bentuk bermedia komputer seperti pesan instan, surat elektronik, ruang percakapan, dan lain-lain. Dalam lingkungan komunikasi bermedia komputer, hubungan interpersonal membutuhkan waktu lebih banyak untuk berkembang dibandingkan dengan komunikasi tatap muka.
Teori ini berpendapat bahwa hubungan interpersonal secara daring mendemonstrasikan dimensi hubungan dan kualitas yang sama dengan komunikasi tatap muka. Hubungan secara daring ini dapat membantu memfasilitasi interaksi yang tidak terjadi dalam komunikasi tatap muka dikarenakan berbagai faktor seperti faktor geografi dan kecemasan dalam kelompok.
Teori social identity model of deindividuation effects (SIDE) dikembangkan oleh T. Posmes, M. Lea, R. Spears, dan SD Reicher dalam ranah psikologi sosial dan studi komunikasi. SIDE menjelaskan efek anonimitas dan kemampuan mengidentifikasi terhadap perilaku kelompok.
Teori ini kemudian berkembang menjadi bagian dari teori teknologi yang menggambarkan efek sosial dari komunikasi bermedia komputer. Teori ini menyajikan penjelasan alternatif tentang efek anonimitas dan faktor deindividuasi lainnya yang tidak dapat dijelaskan oleh teori deindividuasi klasik. (Baca : Literasi Media)
Penelitian yang berpusat pada efek media massa terhadap khalayak telah dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu selama lebih dari satu abad dan melahirkan berbagai teori komunikasi massa yang berpusat pada efek media dan khalayak media. Efek media massa terhadap khalayak yang tidak pasti menimbulkan ketidaksepakatan diantara para peneliti. Hal ini dikarenakan berbagai hasil penelitian yang menunjukkan perbedaan efek kekuatan media massa terhadap khalayak.
W.J Severin dan T.W Tankard (1979) kemudian menggambarkan kekuatan media massa terhadap khalayak ke dalam sebuah model yang didasarkan pada berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sejak Perang Dunia I hingga tahun 1980an. Model tersebut menggambarkan pasang surut kekuatan media massa terhadap khalayak yang berbeda-beda. Pada rentang tahun 1910 – 1940 efek media massa digambarkan sangat kuat terhadap khalayak. Kemudian, pada rentang tahun 1940-1950an efek media massa terhadap khalayak sangat terbatas. Terakhir, pada rentang tahun 1960 – 1980 efek media massa digambarkan mengalami penguatan kembali terhadap khalayak.
Sejarah penelitian efek media massa dapat dilacak asal muasalnya melalui berbagai teori kerumunan atau penelitian masyarakat massa yang berlangsung hingga akhir abad 19. Sejarah penelitian efek media massa dapat dibagi ke dalam beberapa periode yaitu :
a. Periode pertama, mencakup berbagai model efek langsung media
Periode ini meliputi hasil penelitian efek media yang berlangsung pada awal abad 20 hingga tahun 1930an. Pada periode ini media dipandang dapat membentuk pendapat dan perilaku melaui propaganda. Pandangan ini bukanlah didasarkan pada penyelidikan ilmiah namun berdasarkan pengamatan terhadap popularitas pers dan media baru yang sangat besar. Berbagai model yang menggambarkan efek langsung media diantaranya adalah model stimulus-respons (psikologi), model jarum hipodermis atau teori peluru.
b. Periode kedua, mencakup berbagai model efek terbatas media
Periode ini meliputi hasil penelitian efek media yang berlangsung pada tahun 1940an. Berbagai hasil penelitian yang dilakukan pada periode ini menunjukkan bahwa tidak ada kaitan langsung yang dapat dibangun antara rangsangan media dan respon atau tanggapan khalayak. Berbagai model yang menggambarkan efek terbatas media diantaranya adalah model two step flow atau The People’s Choice (Paul F. Lazarfeld. Bernard Berelson, dan Hazel Gaudet, 1940), efek komunikasi massa (Joseph Klapper, 1958), uses and gratifications (Elihu Katz, Jay G. Blumler, Michael Gurevitch, 1959).
c. Periode ketiga, mencakup berbagai model efek kumulatif media
Periode ini meliputi hasil penelitian efek media yang berlangsung pada tahun 1960an. Pada periode ini kekuatan efek media massa menemukan kembali jati dirinya. Berbagai model yang menggambarkan efek kumulatif media diantaranya adalah teori kultivasi (George Gerbner, 1969), teori agenda setting (Bernard Cohen, Maxwell McCombs, dan Donald Shaw, 1968), teori spiral keheningan (Elisabeth Noelle-Nuemann).
d. Periode keempat, pengaruh media dalam lingkungan media baru
Berkembangnya internet sebagai media komunikasi sejak tahun 1990an serta pengaruh media sosial dan efek media sosial yang ditimbulkan dari penggunaan media komunikasi modern lainnya tidak luput dari minta para peneliti. Periode ini ditandai dengan berbagai penelitian tentang efek komunikasi bermedia komputer terhadap individu atau kelompok. Periode ini meliputi hasil penelitian efek media yang berlangsung sekitaran tahun 1980an hingga kini. Berbagai model atau teori yang menggambarkan efek media dalam lingkungan media baru diantaranya adalah teori kekayaan media, teori proses infromasi sosial, dan model identitas sosial efek deindividuasi (Baca : Teori Media Baru)
Mempelajari teori efek media massa dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman kita mengenai latar belakang serta perjalanan sejarah penelitian efek media massa dari masa ke masa serta teori-teori yang timbul guna menjelaskan berbagai fenomena komunikasi massa berdasarkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Demikian ulasan singkat mengenai teori efek media massa yang dirangkum dari berbagai sumber dan mencakup pengertian efek media massa menurut para ahli, beberapa teori efek media massa yang dirumuskan oleh para peneliti, serta perjalanan sejarah teori efek media massa dari masa ke masa. Semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai teori efek media massa khususnya dan ilmu komunikasi pada umumnya.
Perdebatan maupun pertengkaran dalam sebuah hubungan memang menjadi sebuah hal yang wajar terjadi, namun yang…
Dalam menjalankan sebuah usaha, berkomunikasi menjadi hal yang perlu dilakukan dan tidak boleh diabaikan begitu…
Seperti yang diketahui, dengan maraknya pandemi Covid-19 yang menyerang hampir ke penjuru dunia, banyak aktifitas…
Sosial media menjadi sebuah lahan promosi yang cukup menguntungkan dan bisa dengan mudah untuk digunakan…
Saat ini digital marketing atau pemasaran digital menjadi senjata yang cukup ampuh bagi mereka pelaku…
Komunikasi Teraupetik adalah sejenis komunikasi yang dirancang dan direncanakan dengan tujuan terapi untuk membina hubungan…