Menurut John V. Thill dan Courtland L. Bovee (2013) yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya adalah proses mengirim dan menerima pesan antara orang-orang yang latar belakang budayanya dapat mengarahkan mereka untuk menafsirkan tanda-tanda verbal maupun nonverbal secara berbeda.
Sebagaimana konteks komunikasi lainnya, tujuan komunikasi antarbudaya adalah untuk mencapai komunikasi yang efektif. Efektivitas komunikasi antarbudaya dapat tercapai manakala kita memiliki kompetensi budaya yang mumpuni.
Yang dimaksud dengan kompetensi budaya adalah penghargaan terhadap perbedaan budaya yang mempengaruhi komunikasi dan kemampuan untuk menyesuaikan dengan gaya komunikasi seseorang untuk memastikan bahwa usaha mengirim dan menerima pesan melintasi batas-batas budaya berjalan dengan sukses. Kompetensi budaya membutuhkan kombinasi kemampuan dalam hal sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Dalam dunia bisnis, memahami perbedaan budaya sangatlah penting bagi pebisnis sebagai langkah awal menuju komunikasi bisnis antarbudaya yang efektif. Untuk dapat memahami perbedaan budaya dalam dunia bisnis, para ahli telah merekomendasikan sebuah konsep yang dikemukakan oleh Edward T. Hall (1976) tentang perbedaan budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah.
Menurut Hall, konsep ini dapat menjelaskan berbagai hal terkait dengan protokoler bisnis, manajemen, negosiasi, dan manajemen konflik. Selain konteks budaya, para ahli juga merekomendasikan pemahaman tentang aturan budaya dan dimensi budaya. Ketidakmampuan pebisnis untuk memahami perbedaan budaya, aturan budaya, dan dimensi budaya dapat menjadi salah satu penyebab kegagalan dalam komunikasi antarbudaya dalam dunia bisnis.
Banyak sekali contoh kasus komunikasi antarbudaya yang menjadi kajian para ahli berdasarkan konsep perbedaan konteks budaya dan perbedaan aturan budaya. Berikut adalah beberapa contoh kasus komunikasi antarbudaya dalam bisnis, yaitu :
1. Gaya kepemimpinan
Seorang manajer yang bekerja dalam lingkungan budaya yang berbeda akan mengembangkan teknik-teknik yang sesuai dengan budaya setempat untuk memotivasi karyawannya. Dalam konteks budaya rendah seperti Amerika Serikat, seorang manajer lebih menekankan pada individualisme dan jarak kekuasaan yang rendah.
Manajer di Amerika Serikat akan menghargai pencapaian individu dan inisiatif, tindakan, hasil, dan berusaha untuk mengurangi perbedaan status. Manajer mengilhami karyawan dengan janji promosi, kenaikan gaji, bonus, dan bentuk pengakuan publik lainnya.
Sementara itu, dalam konteks budaya tinggi seperti Korea menerapkan gaya manajemen kepemimpinan yang menekankan pada harmoni kelompok dan pada saat yang bersamaan setiap orang di perusahaan harus mengerti posisinya yang tepat.
Yang menjadi seorang raja di perusahaan adalah pimpinan perusahaan. Karyawan tunduk pada pimpinan dan memperlakukan pimpinan dengan hormat.
2. Gaya pengambilan keputusan
Proses pengambilan keputusan memainkan peran yang sangat penting dalam manajemen. Setiap manajer harus mengambil keputusan penting tanpa memandang budaya. Pengambilan keputusan yang dilakukan umumnya terkait dengan manajemen sumber daya manusia, pengembangan produk baru, perluasan pasar, inisiatif penjualan, dan penerimaan atau penolakan proposal. Setiap manajer bisnis harus menyadari siapa yang membuat keputusan dan bagaimana keputusan itu dibuat.
Dalam konteks budaya rendah seperti Amerika Serikat, gaya pengambilan keputusan perusahaan yang diterapkan bersifat top-down dan penyebaran informasi dilakukan melalui struktur otoritatif atau semi-otoritatif. Keputusan biasanya diambil oleh kelompok eksekutif yang bertanggung jawab penuh terhadap keputusan perusahaan. Dengan demikian proses pengambilan keputusan dapat berlangsung lebih cepat dan hal ini diamanatkan secara hukum. Namun, penerapan keputusan ini dapat memakan waktu yang lama.
Hal ini disebabkan terbatasnya pengetahuan karyawan tentang perubahan sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk dapat memahami, menerima, dan beradaptasi dengan aturan baru. Jika karyawan tidak memahami perubahan maka resistensi yang terjadi dapat menghambat atau menghentikan penerapan keputusan yang telah diambil.
Prosedur ini merupakan hasil dari warisan budaya Amerika yang menekankan pada egaliterianisme, independen, individualisme, sering berubah, dan kesediaan untuk berurusan dengan konflik.
Sementara itu, dalam konteks budaya tinggi seperti Jepang, manajer melibatkan kelompok dalam setiap tahapan proses pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan diawali dengan manajer tingkat menengah dan mengikuti prosedur bottom-up.
Dalam proses ini, karyawan atau beberapa karyawan mempersiapkan proposal tertulis dan didiskusikan secara komprehensif oleh semua bagian organisasi. Di tiap tingkatan, manfaat dan kemungkinan dampak akan diperiksa dan jika disetujui oleh semua orang maka proposal akan diteruskan ke tingkat manajemen atas dan eksekutif.
Jika konsensus tercapai, proposal menjadi kebijakan perusahaan dan keputusan ini harus disetujui oleh setiap orang serta diterapkan dengan cepat.
3. Gaya negosiasi bisnis
Negosiasi adalah salah satu contoh komunikasi lintas budaya dalam bisnis dan merupakan bagian integral dari perusahaan baik lokal maupun internasional.
Negosiasi yang dilakukan oleh perusahaan bertujuan untuk mencapai kesepakatan bersama dengan meminimalisasi perbedaan, kesalahpahaman, dan konflik. Dalam negosiasi bisnis antarbudaya, budaya memberikan pengaruh terhadap cara pandang orang melihat proses negosiasi secara keseluruhan, persepsi terhadap rekan kerja, dan cara melakukan sesi tawar menawar.
Dalam konteks budaya rendah seperti Amerika Serikat, gaya negosiasi berkiblat pada tradisi Yunani klasik yang menekankan pada kefasihan retoris, argumentasi, debat, dan persuasi. Gaya negosiasi Amerika Serikat diantaranya adalah mengadvokasi posisi sehingga keputusan dapat dicapai lebih awal, terlalu menekankan pada posisi pertama sebagai bentuk penyajian sikap yang meyakinkan, tidak menghindari posisi permusuhan, berusaha mengurangi formalitas, lebih mengutamakan kemenangan, dan menggunakan komunikasi langsung.
Sementara itu, dalam konteks budaya tinggi seperti Jepang, gaya negosiasi ditandai dengan dibutuhkannya waktu yang lama untuk mendiskusikan permasalahan penting, memahami posisi awal sehingga ada ruang untuk bernegosiasi, berusaha untuk menghindari konflik dan konfrontasi, mencari ranah kesepakatan, menghindari “kehilangan muka”, diawali dengan beberapa diskusi awal sebelum melakukan negosiasi yang sebenarnya.
4. Pemilihan tim negosiasi
Pemilihan siapa yang menjadi negosiator antarbudaya menjadi salah satu bagian penting dalam proses negosiasi antarbudaya. Pemilihan tim negosiasi didasarkan atas budaya termasuk pengetahuan tentang materi permasalahan, hubungan keluarga, pengalaman negosiasi, usia, status, pengetahuan teknis, kepercayaan, dan lain-lain.
Misalnya, dalam konteks budaya rendah seperti Amerika Serikat, pemilihan tim negosiasi dilakukan berdasarkan kemampuan manajerial yang dapat dibuktikan, daya saing, kemampuan verbal, efisiensi, memahami cara komunikasi dalam negosiasi, dan keterampilan komunikasi persuasif.
Sementara itu dalam konteks budaya tinggi seperti Jepang pemilihan tim negosiasi dilakukan dengan mempertimbangkan status anggota tim dan jumlah tim yang dikirim yang menunjukkan tingkat pentingnya negosiasi.
5. Etika bisnis dan negosiasi
Budaya membentuk etika seseorang baik pada tingkatan personal maupun nasional. Sebagai bagian dari perencanaan negosiasi maka kita perlu memahami etika bisnis budaya tuan rumah termasuk etika komunikasi antarbudaya dan etika komunikasi bisnis. Misalnya, di Amerika Serikat melarang pembayaran suap atau pemberian hadiah sehubungan dengan urusan bisnis. Namun di beberapa negara lain seperti Meksiko, suap atau pemberian hadiah dalam urusan bisnis merupakan bagian yang alami dari proses negosiasi.
6. Manajemen konflik
Dalam perspektif antarbudaya, konflik merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam dunia bisnis. Masing-masing budaya memiliki cara sendiri untuk menghadapi dan mengatasi konflik yang mencerminkan sistem nilai yang dianut. Misalnya, Amerika Serikat memandang konflik merupakan bagian dari kompetisi dan ekspresi diri dan karena itu konflik sangat bermanfaat dalam dunia bisnis.
Untuk mengatasi konflik, hal-hal yang dilakukan adalah penghindaran, akomodasi, kompetisi, dan kolaborasi. Bagi Jepang, konflik dipandang sebagai sesuatu yang memalukan dan menyedihkan karena berpotensi mengganggu keharmonisan sosial.
Untuk menghindari terjadinya konflik, sebagian besar perusahaan Jepang melakukan sosialisasi kepada karyawan tentang perusahaan sehingga karyawan memandang perusahaan sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan personal dan profesionalnya.
7. Kontrak bisnis
Selain mempengaruhi etika bisnis, konteks budaya juga mempengaruhi hukum yang juga berdampak pada komunikasi. Misalnya kontrak bisnis memiliki makna yang berbeda bagi setiap budaya.
Misalnya, manajer dari perusahaan Amerika Serikat akan cenderung memandang kontrak bisnis yang telah ditandangani sebagai akhir dari proses negosiasi dengan semua rincian yang disepakati. Sementara itu, bagi manajer dari perusahaan Asia memandang kontrak bisnis yang ditandatangani sebagai perjanjian untuk berbisnis dan baru kemudian melakukan proses negosiasi terkait dengan rincian kesepakatan.
8. Aturan berperilaku
Baik konteks budaya tinggi maupun konteks budaya rendah memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengatur perilaku. Dalam konteks budaya rendah, norma perilaku sering dikomunikasikan secara tertulis atau menggunakan tanda-tanda seperti gambar dan lain-lain dibandingkan secara lisan. Sementara itu, dalam konteks budaya tinggi, norma perilaku tidak dikomunikasikan secara tertulis namun secara lisan secara personal.
9. Gaya komunikasi bisnis
Gaya komunikasi bisnis dapat berbeda diantara budaya berbasis aturan dan juga diantara budaya berbasis hubungan. Misalnya, dalam presentasi bisnis, umumnya pembicara akan menggunakan teknik komunikasi berkesan sebagai upaya untuk menarik dana untuk usaha bisnis dari para investor.
Gaya presentasi bisnis Amerika Serikat dan Jerman memiliki perbedaan walaupun kedua negara merupakan negara dengan budaya berbasis aturan yang sangat kuat. Gaya presentasi Amerika Serikat diawali dengan humor atau lelucon kecil yang dilontarkan pembicara untuk mencairkan suasana. Gaya presentasi seperti ini tidak sesuai untuk Jerman yang lebih mengedepankan profesionalisme dan keseriusan pembicara.
10. Protokol bisnis
Dalam komunikasi bisnis lintas budaya, protokol bisnis mempengaruhi bagaimana membuat kontak, perilaku memberikan salam, penampilan personal, pemberian hadiah, dan percakapan yang dianggap tabu. Protokol bisnis melibatkan berbagai macam bentuk seremonial, etiket, dan kode etik yang sangat penting untuk dipahami dalam setiap transaksi bisnis yang dilakukan.
Misalnya, di Amerika Serikat terdapat stiker yang berisi “Rules Are for Fools”. Stiker ini mengekspresikan tingginya nilai yang disematkan oleh warga Amerika terhadap individualisme, independen, dan perbedaan.
Demikianlah ulasan singkat tentang beberapa contoh kasus komunikasi antar budaya dalam bisnis. Semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang komunikasi antarbudaya khususnya beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan dunia bisnis.