Kode Etik dalam Penyuntingan Naskah

Apa yang ada dipikiran Anda ketika mendengar kata “Skripsi”? Para Mahasiswa pasti sudah memahami karya ilmiah yang harus dibuat sebagai persyaratan kelulusan dari universitas. Skripsi akan diingat dengan istilah-istilah seperti dosen pembimbing, bimbingan, referensi, dan revisi.

Apa arti revisi? Revisi adalah suatu proses pemeriksaan atau peninjauan kembali yang bertujuan untuk menyempurnakan sebuah hasil karya yang biasanya berupa tulisan. (Baca juga: Tujuan Penyuntingan Naskah Drama)

Revisi disebut juga sebagai editing atau penyuntingan terhadap naskah atau teks. Mien A. Rifai yang dikutip dari nugramedia.com menyebutkan bahwa penyuntingan merupakan jembatan yang menghubungkan penulis dengan pembacanya.

Penyuntingan naskah merupakan suatu tahap mengubah, mengatur, menata kembali, memperbaiki keseluruhan dalam penulisan naskah sesuai dengan kemauan dari penulis. Hal ini karena seorang penulis memiliki kuasa untuk mengatur penulisan dan gaya bahasa yang diinginkannya. (Baca juga: Tujuan Resensi dalam Film)

Setiap kegiatan yang dilakukan membutuhkan aturan, acuan, atau pedoman dalam prosesnya. Begitu pula dengan penyuntingan suatu naskah yang berpedoman pada kode etik penyuntingan naskah yang bertujuan agar penulisan dalam suatu naskah menarik dan sesuai dengan gaya penulisan yang semestinya. Menurut Mien A. Rifai (2004) yang dikutip dalam buku “Pegangan Gaya, Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia”, terdapat enam kode etik dalam penyuntingan naskah, yaitu:

  1. Penyunting naskah wajib mencari informasi mengenai penulis naskah sebelum memulai menyunting naskah

Seorang penyunting naskah memiliki kewajiban untuk mencari referensi atau informasi tentang penulis naskah tersebut. Setiap penulis naskah memiliki karakter dan watak yang berbeda-beda, sehingga penyunting wajib mengetahuinya. Penyunting harus menanyakan informasi tersebut langsung kepada penulis naskah.

Jika penulis tidak dapat ditemukan maka penyunting dapat bertanya kepada seorang editor penerbit atau penerbit yang pernah menerbitkan naskah dari penulis tersebut. Dengan demikian, penyunting dapat dengan mudah menggambarkan karakter atau watak penulis. (Baca juga: Teori Dramaturgi)

  1. Penyunting naskah bukanlah penulis naskah

Penyunting naskah bukan merupakan penulis naskah. Penyunting naskah merupakan seorang yang bertugas menyunting naskah atau sering disebut sebagai editor. Sedangkan penulis naskah adalah seorang yang bertugas menulis naskah. Artinya, seorang penulis hanya menyalurkan ide-ide dan gagasannya menjadi bentuk tulisan. Walaupun seorang penyunting dapat membantu tugas penulis, tetapi tidak memiliki tanggung jawab atas penulisan naskah tersebut. (Baca juga: Bahasa Jurnalistik)

  1. Penyunting naskah wajib menghormati gaya penulis naskah

Hal yang perlu diperhatikan dalam penyuntingan naskah adalah terletak pada gaya bahasa. Penyunting naskah tidak dapat dengan mudah mengubah tulisan dalam naskah. Semua penulisan naskah diatur oleh penulis, sehingga penyunting harus mengetahui karakter penulis naskah tersebut. Peran penyunting dalam hal ini adalah dapat menghormati gaya bahasa yang telah ditentukan oleh penulisnya. (Baca juga: Fungsi Kode Etik Jurnalistik)

  1. Penyunting naskah wajib merahasiakan informasi yang terdapat dalam naskah yang disuntingnya

Naskah yang ada dalam sebuah buku sebelum diterbitkan bersifat rahasia. Kerahasiaan tersebut hanya diketahui oleh penulis dan penyunting. Oleh karena itu, apabila dilanggar oleh salah satu pihak maka akan ada sanksi yang dikenakan. Kerahasiaan naskah berupa isi materi buku, judul buku, gaya penulisan, tokoh, dan lain sebagainya. Hal ini berkaitan dengan hak cipta apabila terjadi hal-hal yang tidak dinginkan. (Baca juga: Pengertian Jurnalistik Menurut Ahli)

  1. Penyunting naskah wajib mengonsultasikan hal-hal yang mungkin akan diubahnya dalam naskah

Kode etik ini berhubungan dengan kode etik sebelumnya seperti penyunting wajib menghormati gaya bahasa seorang penulis dan penyunting wajib mencari informasi mengenai penulis. Kode etik tersebut diartikan bahwa penyunting naskah tidak dapat dengan mudah mengambil keputusan dalam menyunting atau mengubah tulisan yang telah ditulis oleh penulis naskah. Penyunting naskah harus mengikuti perintah dari seorang penulis. (Baca juga: Jenis-jenis Jurnalistik)

  1. Penyunting naskah tidak boleh menghilangkan naskah yang akan, atau sedang, atau telah disunting

Penyunting naskah pada kode etik ini diharapkan dapat bekerja secara sistematis, teratur, dan berurutan. Hal ini dikarenakan tugas penyunting naskah sangat sulit diselesaikan apabila tidak secara sistematis. Banyaknya kertas-kertas naskah yang akan dijadikan buku ini juga dapat hilang apabila bekerjanya tidak teratur dan teliti. (Baca juga: Contoh Opini dalam Jurnalistik)

Adapun kode etik yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas penyunting naskah ini membutuhkan pemikiran yang tenang dan memiliki wawasan yang luas khususnya dalam sastra dan bahasa.

Selain itu, penyunting naskah diwajibkan untuk bekerja dengan waktu yang disiplin karena penyuntingan naskah memiliki batas waktu yang telah ditentukan atau disebut deadline untuk sampai ke penerbit.

Setelah sampai ke bagian penerbitan maka tugas penyunting adalah membuat laporan berupa surat sebagai bukti bahwa buku yang sudah melalui proses penyuntingan naskah tersebut sudah sampai ke penerbit dan siap untuk diterbitkan. (Baca juga: Fungsi Editor dalam Jurnalistik Online)

Penyunting naskah harus memahami aspek-aspek yang ada dalam proses menyunting naskah yang diantaranya yaitu adanya aspek keterbacaan dan kejelasan, aspek konsistensi, aspek kebahasaan, aspek ketelitian data dan fakta, aspek legalitas dan kesopanan, serta aspek rincian produksi.

Aspek-aspek tersebut terlebih dahulu harus dimengerti oleh penyunting naskah agar tujuan dalam menyunting naskah dapat tercapai dengan baik. (Baca juga: Jurnalistik Online)