Mengacu pada hakikat filsafat komunikasi, komunikasi persuasif merupakan salah satu teknik komunikasi yang sangat erat kaitannya dengan psikologi. Dalam psikologi komunikasi, persuasif didefiniskan sebagai proses mempengaruhi dan mengendalikan perilaku orang lain melalui pendekatan psikologis.
Untuk memahami dan menjelaskan proses komunikasi persuasif, para ahli psikologi telah mengembangkan berbagai macam model komunikasi persuasif dan pendekatan teoretis dalam proses komunikasi persuasif. Menurut McGuire, terdapat empat pendekatan utama dalam proses komunikasi persuasif yaitu teori pengolahan informasi yang juga merupakan salah satu teori komunikasi intrapersonal, teori konsistensi, pendekatan perseptual, dan pendekatan fungsional.
Sementara itu, menurut Larson (1986), terdapat lima pendekatan dalam proses komunikasi persuasif yaitu teori-teori sikap dan perubahan sikap, teori konsistensi, teori belajar (teori operant conditioning B.F. Skinner), teori penilaian sosial dan belajar sosial, dan teori efek media massa.
Pada kesempatan kali ini, kita akan mengulas secara singkat tentang salah satu pendekatan teoretis dalam proses komunikasi persuasif yaitu pendekatan teori konsistensi. Pendekatan teori konsistensi memprediksi bahwa perilaku akan berubah sebagai hasil dari ketidakkonsistenan yang dirasakan oleh penerima.
Ketidakkonsistenan dapat terjadi karena adanya perbedaan antara sikap yang dipegang oleh seseorang dengan informasi yang disampaikan orang lain, perbedaan antara dua perangkat pesan, perbedaan antara sikap yang dipegang oleh individu dengan perilakunya, dan perbedaan antara perilaku seseorang dan perilaku yang diharapkan oleh orang lain dalam sebuah situasi.
Teori konsistensi memprediksi bahwa untuk mengatasi ketidakkonsistenan ini, maka orang akan melakukan berbagai macam hal seperti mengubah sikap atau perilaku sebagai bagian dari aspek kognitif agar kembali mencapai konsistensi atau keseimbangan. Karena itulah, teori konsistensi dikenal juga dengan sebutan teori konsistensi kognitif.
Teori konsistensi kognitif dalam komunikasi persuasif bukanlah sebuah teori tunggal namun merupakan kumpulan dari berbagai macam teori komunikasi persuasif seperti teori sikap dan perubahan sikap dan lain-lain. Sebelum kita mengulas teori konsistensi kognitif dalam komunikasi persuasif, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konsistensi kognitif.
Konsistensi kognitif adalah adalah satu konsep paling awal yang berkaitan dengan psikologi sosial. Dalam Encyclopedia of Social Psychology (2007), konsistensi kognitif didefinisikan sebagai konsep yang menyatakan bahwa setiap individu memiliki preferensi tersendiri bagi beberapa aspek kognitif seperti pemikiran, keyakinan, pengetahuan, pendapat, dan sikap mereka serta niat untuk menjadikannya seimbang, dalam artian tidak ada kontradiksi satu sama lain.
Berbagai aspek kognitif tersebut harus selaras atau sesuai dengan cara masing-masing individu melihat diri mereka sendiri dan perilaku mereka selanjutnya.
Ketidakselarasan atau ketidaksesuaian akan mengarah pada terjadinya ketegangan serta situasi dan kondisi psikologis yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan pada diri individu. Dan karenanya, masing-masing individu akan mencari perubahan dalam rangka untuk mencapai keselarasan kembali, mengurangi ketegangan, dan mencapai keseimbangan psikologis.
Pengertian atau definisi konsistensi kognitif di atas mengandung dua istilah penting yaitu kognitif dan konsistensi.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa konsistensi kognitif adalah konsep paling awal yang berkaitan dengan psikologi sosial. Tokoh pertama yang tercatat menggunakan konsep konsistensi kognitif dalam teori psikologi sosial adalah Fritz Heider pada tahun 1946.
Pada tahun 1950an, konsep konsistensi kognitif mulai dikembangkan lebih lanjut oleh para pelopor teori psikologi sosial seperti Leon Festinger, Fritz Heider, Theodore Newcomb, dan Charles Osgood.
Mereka kemudian menghasilkan dan menggabungkan beberapa teori yang berkaitan dengan konsistensi kognitif dan penelitian yang mendukung serta membentuk kelompok teori konsistensi kognitif. Dalam psikologi sosial, teori konsistensi kognitif meliputi berbagai macam teori inti seperti teori disonansi kognitif (Festinger), teori keseimbangan (Heider), teori sistem A-B-X (Newcomb), dan teori kesesuaian (Osgood).
Teori lain yang termasuk teori konsistensi kognitif menurut para ahli diantaranya adalah model konsistensi kognitif-afektif (Rosenberg) dan teori hierarki keyakinan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan teori konsistensi kogntif sebagaimana dinyatakan dalam A Dictionary of Psychology (2015) adalah setiap dari sejumlah teori sikap dan teori perubahan sikap yang menjelaskan berbagai usaha yang dilakukan setiap individu untuk mempertahankan konsistensi antara kognisi mereka.
Teori konsistensi kognitif berasumsi bahwa orang-orang termotivasi untuk mencari sikap, pemikiran, keyakinan, nilai-nilai, perilaku, dan perasaan yang koheren. Jika terjadi ketidakonsistenan, mereka akan mengalami ketegangan situasi dan kondisi dalam diri mereka dan hal tersebut memotivasi mereka untuk mengurangi ketegangan yang dialami dengan cara membuat kognisi mereka menjadi konsisten atau seimbang.
Teori konsistensi kognitif mengalami masa keemasannya pada tahun 1950an dan 1960an. Namun masa keemasan tersebut berakhir menjelang akhir 1960an karena kurangnya minat penelitian pada teori konsistensi kognitif. Tahun 1968, Robert Abelson dan kawan-kawan menerbitkan sebuah buku pegangan yang berjudul Theory of Cognitive Consistency.
Dalam bukunya, Abelson dan kawan-kawan menyatakan bahwa konsistensi kognitif mengacu pada usaha yang dilakukan individu untuk mempertahankan konsistensi diantara keyakinan mereka dan membuat perubahan ketika hal ini tidak terjadi.
Dengan kata lain, jika sebuah obyek yang disukai membantu untuk mencapai obyek yang lain yang disukai maka sikap menjadi konsisten. Sebaliknya, jika obyek yang disukai menghalangi pencapaian obyek lain yang disukai maka terjadilah ketidakkonsistenan. Ketika inkonsistensi melebihi tingkat toleransi tertentu maka sikap akan berubah untuk mencapai konsistensi.
Dari ulasan yang disampaikan Abelson dan kawan-kawan terlihat bahwa teori konsistensi kognitif menyarakan empat mode tambahan untuk mengembalikan keseimbangan selain mengubah sikap seseorang yakni melakukan penolakan, memperkuat sikap yang ada, melakukan tindakan yang berbeda, dan transendensi (Werder dalam Littlejohn, 2009 : 57).
Setelah terbitnya buku tersebut, teori konsistensi kognitif justru mengalami mati suri selama tahun 1970an karena hampir tidak ada penelitian tentang teori konsistensi kognitif yang dilakukan oleh para ahli. Pada tahun 1980an, teori ini kembali memperoleh popularitas dengan adanya berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli.
Kemudian, pada tahun 1990an, teori konsistensi kognitif seolah terlahir kembali dengan banyaknya minat pada teori disonansi kognitif. Teori konsistensi kognitif telah menjadi primadona penelitian dalam psikologi sosial selama beberapa dekade dan banyak diterapkan dalam ilmu komunikasi untuk menjelaskan perubahan sikap dan perilaku yang terjadi dalam konteks komunikasi massa, komunikasi organisasi, komunikasi kelompok, komunikasi kesehatan, komunikasi persuasif dan lain-lain.
Teori konsistensi kognitif atau disebut juga dengan teori konsistensi merupakan salah satu pendekatan utama dalam proses komunikasi persuasif. Menurut Larson (1986), yang termasuk dalam teori konsistensi kognitif dalam komunikasi persuasif adalah teori keseimbangan, teori kesesuaian, teori disonansi kognitif, dan teori hierarki keyakinan.
1. Teori Keseimbangan
Teori keseimbangan atau balance theory adalah salah satu teori konsistensi kognitif digagas oleh Fritz Heider di tahun 1946 dan sekaligus merupakan teori pertama yang dikembangkan dalam lingkup teori konsistensi kognitif. Teori keseimbangan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Heider di tahun 1958 dan diadaptasi oleh Theodore Newcomb ke dalam situasi komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi.
Teori ini menekankan pada keterlibatan dua orang dalam satu topik pembicaraan. Gagasannya adalah bahwa penerima harus berorientasi secara positif terhadap komunikator dan komunikator harus mengkomunikasikan hubungan terhadap satu topik yang berbeda dengan yang dipegang oleh penerima.
Hal ini akan menghasilkan situasi dan kondisi yang tidak stabil dan harus segera diatasi dengan beberapa cara. Penerima akan mengubah sikap atau perilakunya terhadap topik yang dibawa oleh komunikator atau topik yang dibawanya.
2. Teori Kesesuaian
Teori kesesuaian atau congruency theory atau congruity theory adalah teori konsistensi yang digagas oleh Charles Osgood dan Percy Tannenbaum (1955, 1968). Teori kesesuaian menekankan pada dua perangkat informasi atau dua konsep yang membutuhkan penilaian yang dibuat oleh pengamat. Jika dua perangkat informasi atau konsep adalah sama atau sesuai maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Sebaliknya, jika dua perangkat informasi atau konsep tersebut tidak sama maka pengamat akan mengalami tekanan untuk mengubah penilaiannya terhadap salah satu kasus (Larson, 1986 : 41).
3. Teori Disonansi Kognitif
Teori disonansi kognitif yang digagas oleh Leon Festinger (1957) adalah teori konsistensi kognitif yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap para peneliti dan teori-teori turunannya. Teori disonansi kognitif menekankan pada akibat ketidaksesuaian antara dua kognisi yang berhubungan. Disonansi terjadi ketika elemen-elemen kognisi menjadi tidak konsisten secara logis dan psikologis.
Keadaan ini memotivasi individu untuk mengurangi diosnansi dan kembali ke konsonan dengan cara menghindari situasi atau informasi yang dapat meningkatkan disonansi. Teori disonansi kognitif mendominasi penelitian persuasi pada tahun 1960an dan 1970an.
4. Teori Hierarki Keyakinan
Teori atau pendekatan hierarki keyakinan digagas oleh Milton Rokeach melalui penelitiannya terhadap penerima dalam proses persuasi. Teori ini menekankan pada ide atau gagasan tentang ketidakkonsistenan dan kompleksitas perubahan sikap, keyakinan, dan perilaku manusia. Teori hierarki keyakinan menyatakan bahwa sikap, keyakinan, dan nilai-nilai terjalin dan diberi peringkat dalam berbagai hierarki (dari yang kurang penting ke paling penting) ke dalam satu sistem keyakinan yang dibawa oleh penerima dalam situasi persuasif.
Rokeach berpendapat bahwa keyakinan dan sikap dapat mempengaruhi kita untuk bertindak namun nilai-nilai memandu kita untuk bertindak dan karenanya nilai-nilai merupakan bagian terpenting dalam hubungan segitiga antara sikap-keyakinan-nilai-nilai (Larson, 1986 : 47).
Mempelajari teori konsistensi kognitif dalam komunikasi persuasif dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah :
Demikianlah ulasan singkat tentang teori konsistensi kognitif dalam komunikasi persuasif. Semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita tentang komunikasi persuasif dan teori konsistensi kognitif atau teori konsistensi sebagai salah satu pendekatan teoretis dalam komunikasi persuasif.
Perdebatan maupun pertengkaran dalam sebuah hubungan memang menjadi sebuah hal yang wajar terjadi, namun yang…
Dalam menjalankan sebuah usaha, berkomunikasi menjadi hal yang perlu dilakukan dan tidak boleh diabaikan begitu…
Seperti yang diketahui, dengan maraknya pandemi Covid-19 yang menyerang hampir ke penjuru dunia, banyak aktifitas…
Sosial media menjadi sebuah lahan promosi yang cukup menguntungkan dan bisa dengan mudah untuk digunakan…
Saat ini digital marketing atau pemasaran digital menjadi senjata yang cukup ampuh bagi mereka pelaku…
Komunikasi Teraupetik adalah sejenis komunikasi yang dirancang dan direncanakan dengan tujuan terapi untuk membina hubungan…